Matahari sepertinya membuka cabang di sekitaran Kalimalang, karena panasnya yang tidak kira-kira membakar kulitku yang tidak putih ini. Setelah menyetop salah satu angkot berwarna biru telur asin itu, aku memilih untuk duduk di paling depan, samping supir. Handphone ternyata terus bergetar, ada beberapa panggilan dan pesan yang berasal dari orang yang sama. Ya, kami memang berjanjian. Namun, aku sudah bilang sebelumnya kalau aku akan menyusul. Ragu-ragu, ada rute serta transportasi yang yang dijelaskan temanku, di LINE, yang jelas bukan di handphone yang nada deringnya masih poliponik ini. Segera kuambil gadget putih itu dari dalam tasku. Cepat-cepat ku membuka LINE, serta membalas apa yang perlu dibalas, dan mengingat apa yang harus diingat. Tiba-tiba supir disebelahku bertanya:
“De, aipetnya bisa buat nonton
tivi ya?”
“Eh? Nggak bisa pak.”
“Itu namanya aipet apa?”
“Galaxy tab pak samsung. Bisa sih
nonton tv tapi pake internet.”
“Oh gitu ya.”
Kemudian kumasukan kembali apa
yang disebut aipet oleh pak supir, agar Ia tak bertanya-tanya lebih lanjut
mengenai fitur-fitur selain bisa nonton tv. Tidak lama kemudian, ada dua orang
berpakaian rapi menaiki angkot itu. Salah satu dari mereka, laki-laki, menegur
pak supir. Kemudian mereka mengobrol asik mengenai mobil-mobil angkot. Ternyata
penumpang itu adalah pihak leasing mobil yang menerima angsuran bapak supir
dalam pelunasan mobil yang ketika itu kunaiki. Mereka mengobrol panjang lebar meski tidak bertatap
muka. Di tengah obrolan yang tidak singkat itu, bisa-bisanya pak supir meminta
maaf kalau-kalau angsurannya agak terlambat dibayar. Kemudian kedua penumpang
berpakaian rapi itu minta diturunkan karena sudah sampai di depan kantornya.
Pak supir tidak mau diberikan ongkosnya.
“Nih pak,” kata penumpang sambil
memberikan uang ke pak supir dari dalam angkot
“Ah gak usah lah, bawa aja.”
Penumpang itu malah tidak sengaja melempar
uangnya lalu turun dari angkot.
Pak supir yang awalnya
senyum-senyum menjadi agak kesal ketika mendapat perlakuan tersebut. Kemudian
ia menghadap saya.
“Bayar sih bayar, tapi ga usah
dilempar juga. Dia orang lising, saya ngangsur disana.”
“Hehe iya.”
Jalanan sepanjang Kalimalang
terbilang ramai lancar. Ketika di daerah kodam, mobil dihentikan seorang nenek
yang menyetop dengan aba-aba dari tangan kanannya. Nenek tersebut duduk di sampingku. Otomatis aku menggeser sedikit, agar kursi ini bisa muat untuk dua orang.
Nenek ini terlihat sudah lumayan umurnya, kurus sekali, memakai bedak dan
lipstik merah. Aku merasa sangatlah kucel disampingnya. Berkali-kali ia melihat
ke arahku, namun aku tetap memandang ke arah depan. Akhirnya, ia hanya menatap
spion, senyum-senyum melihat cerminan wajahnya sendiri.
Panasnya siang itu membuatku
berkali-kali ingin mengambil botol minum dari dalam tas, namun sulit sekali
dikarenakan tempat duduk yang begitu sempit. Setelah melewati lampu merah
Halim, angkot mendadak berhenti, pak supir tiba-tiba berteriak ke arah penjual
buah “pepaya ya 1.” Kemudian angkot melanjutkan perjalanan. Di tengah sebuah
komplek daerah Cawang, ada anak-anak yang baru keluar dari sekolahnya. Ada
seorang anak laki-laki yang tinggi berseragam pramuka dengan seorang perempuan
berseragam yang sama dan seorang perempuan lainnya yang berseragam putih
abu-abu. Kelihatannya, perempuan yang berbeda sendiri seragamnya itu sedang
didekati oleh anak laki-laki, sedangkan perempuan yang berseragam pramuka sebagai mak comblang. Angkot penuh, sebagian diisi oleh penumpang
berseragam sekolah. Hampir sampai di Kp. Melayu, kedua perempuan yang
berseragam itu turun, namun tidak membayar ongkos. Kata anak laki-laki dari
dalam angkot “belakang bang.”
Sesampainya di tempat pemberhentian
terakhir, Terminal Kampung Melayu, satu-satu turun meninggalkan angkot dengan
membayar ongkos terlebih dahulu. Begitu juga dengan anak laki-laki berseragam
pramuka tadi, Ia membayar dengan uang lima ribuan.
“Seribu lagi hei!”
“Gak ada lagi bang.”
“Dasar kau gengsi sekali bayar-bayari
perempuan.”
Dengan sedikit tawa, aku pergi
meninggalkan angkot berwarna biru telur asin itu dan mencari kopaja menuju Tugu
Proklamasi. Kata teman yang sudah sibuk menghubungiku semenjak di tempat
kursus, aku cukup memesan kepada abang kenek untuk turun di depan Tugu tersebut. Aku duduk di samping jendela karatan yang banyak debunya. Sambil menunggu
kopajanya penuh, aku mengangkat telepon dari orang yang sama dengan informasi
yang sama. Bangku sebelahku yang awalnya kosong telah dipenuhi seorang bapak
yang rambutnya didominasi warna putih. Kemudian kupanggil abang kenek untuk
minta diturunkan di depan Tugu Proklamasi sesuai dengan apa yang telah
diberitahukan.
Jalanan tidak begitu padat, hanya
saja ada sedikit masalah di Matraman, tepatnya di belokan ke arah Manggarai. Ada
mobil yang berhenti tanpa supir di belokan, sehingga menyebabkan lalu lintas
tersendat. Beberapa orang membuka pintunya kemudian mendorong sekuat-kuatnya,
dibantu oleh pengemudi motor yang sengaja turun dari motornya. Aku sebal sambil
tertawa. Ada-ada saja kelakuan warga ibukota. Bersamaan dengan itu, temanku
menanyakan posisiku sekarang, dan memberitahukan kalau aku akan sampai lima
menit lagi.
Ketika melihat sebuah lapangan
yang ramai, aku segera bilang ke kenek kopaja.
“Bang, ini ya Tugu Proklamasi?”
“Iya neng. Sini ya?”
“Iya deh.”
“Mau ikut demonstrasi ya?”
“Nggak.”
Tampaknya memang sedang ada
ramai-ramai di sekitar Tugu Proklamasi. Warna merah dimana-mana, begitu juga
dengan bendera bergambar banteng yang dipasang hampir di setiap jengkal
lapangan itu. Aku masih bingung, mencari dimana perpustakaan yang ingin kutuju
itu. Akhirnya, aku bertanya kepada abang penjual minum yang bengong sejak tadi
kuperhatikan.
“Bang, tau freedom institute
gak?”
“Apaan tuh? Tempat yang lagi
dipake itu ya?” Katanya sambil menunjuk ke arah Tugu Proklamasi.
“Bukan bang, perpustakaan.”
“Oh gatau saya, kesana kali,”
katanya sambil menunjuk ke berbagai arah.
Tidak ada yang bisa dipercaya,
selain bertanya kepada kedua temanku. Namun, mereka sama sekali tidak membalas
smsku. Akhirnya aku mencoba mencari-cari sendiri sampai tersadar kalau tempat
yang kucari sejak tadi itu sudah ada di depan mata. Perjuangan memang jarang
yang mudah.
No comments:
Post a Comment