Menginjak senja. Aku masih terduduk pasrah di lorong yang
terasa begitu kosong ini, koridor gedung VIII FIB. Mataku berlarian melihat
sekelebatan orang berlalu lalang dengan santainya tanpa
memperhatikanku. Sudah limaratusan hari kuhabiskan dengan menyender di tembok
berbatubata merah ini. Sulit rasanya ketika harus mengingat ratusan hari yang
lalu, ketika kita sama-sama menatap senja dari celah pohon besar yang aku lupa
nama ilmiahnya. Disini juga, kita pernah saling menunggu siapa yang ingin
berbicara lebih dulu, menebak-nebak apa yang sebenarnya ada di pikiran kita.
Suatu kesempatan yang menyenangkan bisa berbagi dunia denganmu, terlepas dari
kondisi kita saat itu.
Mengenai pertanyaan siapa yang paling benar dan yang paling
salah selalu saja berkeliaran pada rongga otakku. Apakah wajar bila sungai
yang kering mengharap dialiri air terus-menerus pada hujan yang hanya datang 6
bulan dalam setahun? Apa mungkin sungai terlalu menaruh harapan kepada apa yang
sebenarnya tidak bermaksud memberi harapan, hanya memang sudah kepastiannya
seperti itu? Aku benar-benar tidak paham tentang ini. Sungguh. Naluri kadang
terhambat dengan egoku sendiri. Membuat kemungkinan-kemungkinan menyenangkan atas kejadian-kejadian sederhana denganmu. Tenggelam dalam ilusi ciptaanku sendiri.
Aku masih terduduk pasrah di lorong yang terasa begitu
kosong ini, koridor gedung VIII FIB. Melihatmu jalan berdampingan dengan sahabatku.
Kukira drama seperti ini hanya ada di kotak ajaib bernama televisi, nyatanya
sekarang aku memainkan peran dari cerita ini. Hilang sudah dalam kamusku arti ‘sakit
hati’. Aku sudah begitu mati rasa menyaksikan pemandangan yang sama di setiap
senja. Ratusan hari duduk disini membuatku mengerti, hanya senja yang menjadi
saksi atas perasaanku.
Flash Fiction ini dipersembahkan untuk NBC UI
No comments:
Post a Comment