Aku merasakannya lagi, setelah baru saja kukubur dalam-dalam
mimpi itu. Menginjak tanah daratan benua itu, Amerika namanya. Mimpi yang
kurasa bertahan paling lama di pikiranku, di jiwaku. Lama, karena sulit
menggapainya. Tiga tahun lalu, setelah membaca sebuah karya yang menurutku
sangatlah berharga, karena mampu menggetarkan hatiku. Buku yang membuatku berani
memiliki mimpi. Berani mencari-cari beasiswa untuk bisa hadir disana. Di tengah
taman dengan pohon maple yang sedang berguguran daunnya, dengan pemandangan air
terjun niagara yang begitu dekat, sangat dekat. Aku menyukai bacaan-bacaan yang
berlatar luar negeri, dari Asia sampai Amerika. Begitu juga dengan buku-buku
berlatar negara-negara di Eropa. Namun, sungguh aku hanya tertarik pada benua
satu itu, yang ditemukan Christoper Colombus 71 tahun lalu.
Ya, aku sadar usahaku selama ini belum pantas untuk
membawaku kesana. Ditambah dengan mengulur-ulur waktu. Menunggu setahun,
setahun lagi, kemudian hancur lebur begitu saja. Pada semester awal kuliah, aku
berniat mengikuti salah satu program pertukaran pelajar yang deselenggarakan
AMINEF. Dan setelah kulihat persyaratannya, ada sepotong kalimat yang membuatku
lemas, minimal peserta yang mengikuti
sudah berada di tingkat dua. Sedangkan aku masih berada di tingkat satu,
dengan mimpi yang keterlaluan tidak mungkin. Dalam hati aku berpikir “Oke,
berarti satu tahun lagi!”. Setahun aku menunggu, mengecek website AMINEF
mengenai pendaftaran program ini, membaca-baca blog yang berisi pengalaman
orang-orang yang telah dahulu mengikutinya. Aku hanya bisa tersenyum dan
membayangkan. Ya, hanya itu. Tanpa usaha lain, aku merasa sangat bodoh saat
itu. Tepat setahun setelah penantian itu, kembali kubuka website AMINEF. Dan
tahukah apa yang aku dapatkan? Websitenya tidak mengalami pengupdatean mengenai
program untuk tahun 2011. Entahlah apa yang kurasakan saat itu, seperti ada
yang menusuk begitu dalam. Dingin. Aku seperti kehilangan sesuatu, yang sudah
kuimpikan berpuluh-puluh hari lamanya.
Beberapa waktu kemudian, aku lupa tepatnya, aku mendapatkan
kembali informasi mengenai beasiswa yang bisa membawaku kesana, program belajar
bahasa inggris 3 bulan melalui fullbright. Kupikir mungkin ini jalanku, setelah
menunggu semester 5, tepatnya satu tahun setelah aku kehilangan semangat karena
website lembaga satu itu. Aku mulai berusaha, menambah kualitas diri maupun
akademik untuk memantaskan diri menjadi salah satu pendaftar beasiswa tersebut.
Keantusiasanku untuk mengikuti program ini terganjal suatu hal, magang. Jurusanku
memang mengharuskan mahasiswanya mengikuti magang di tengah liburan semester
yang biasanya berjalan di antara semester 4 dan 5. Namun, berbeda dengan
angkatanku yang masih dalam suatu pertimbangan untuk melakukan magang diantara
2 semester tersebut. Aku selalu berdoa dan berharap agar magang tetap
dijalankan pada jadwal yang sudah biasanya berjalan, agar tidak mengganggu
waktuku di tahun ketiga saat aku ingin merealisasikan mimpi yang satu ini. Kenyataannya,
magang untuk angkatanku berbeda. Diadakan setelah semester 6 berakhir. Lagi dan
lagi, ada sesuatu yang menyesakkan. Beasiswa fullbright memiliki jadwal
keberangkatan pada pertengahan tahun, saat summer lebih tepatnya. Sedangkan rasanya
tidak mungkin apabila -misalnya- aku diterima beasiswa fullbright kemudian
berangkat begitu saja mengesampingkan magang, yang merupakan prioritas yang
sudah diprioritaskan semenjak awal masuk kuliah. Tujuan pertamaku ialah kuliah
dengan baik, tujuan keduaku ialah mengikuti pertukaran pelajar tanpa mengganggu
banyak kuliahku. Aku belum bisa seperti anak-anak lain yang rela mempending
waktu lulus mereka demi mengikuti pertukaran pelajar selama beberapa bulan. Aku
belum bisa berkorban sebanyak itu. Sampai pada saatnya pendaftaran beasiswa
dibuka. Beberapa minggu sebelumnya aku mengkuti TOEFL, yang sudah kupersiapkan
secara belum matang. Hasilnya? Tipis dari apa yang dipersyaratkan. Mungkin
takdir belum mengizinkanku untuk meninggalkan rumah sampai jutaan kilometer
jauhnya.
Sudah banyak keputusasaan yang kutabung dari setiap
kekecewaan atas diriku sendiri. Namun di tengah-tengah itu, selalu ada sesuatu
yang membangunkanku kembali. Mendapat kiriman souvenir dari Kanada via CESI
beberapa bulan lalu mengingatkanku kembali tentang mimpi . Melihat simbol daun
maple berwarna merah, menyegarkan pikiranku, membawaku berada di tengah kota
bernama Quebec. Seperti pernah berada disana, padahal tidak pernah, atau bakal
kesana? Aku tidak tahu.
Aku merasa semakin dekat ketika melihat benda-benda dari
Kanada itu di rak buku kamarku. Pernah suatu saat aku mengunjungi @america
karena keperluan tugas kuliahku. Yang kulakukan disana malah memanfaatkan
fasilitas meminjam iPad yang berisi informasi apapun tentang Amerika. Menyentuh
peta negara bagian, melihat bagian dalam Library of Congress, melihat
pidato-pidato Obama. Amerika terasa sangat dekat. Aku menginginkannya seperti
penderita sakit gigi yang menginginkan permen. Sesuatu yang bisa terlaksana
bila sesuatu yang lain bisa terselesaikan sebelumnya. Ya, ini beberapa bulan
yang lalu.
Di tahun 2013 mimpi itu kembali kukubur hidup-hidup, tanpa
alasan, tanpa mengingat harapan. Hingga pada hari ulangtahunku, aku merasa ada
yang hilang. Ada harapan yang hilang, berkurang satu. Namun, hari ini, ada
sesuatu yang begitu baiknya mengembalikan semuanya. Menghidupkan lagi api di
lilin kecil yang sempat mati. Mungkin tulisan ini terlalu berlebihan, terlalu
banyak berkhayal, tanpa ada sesuatu yang sudah bisa didapatkan. Sebenarnya aku
malu menaruh tulisan ini disini, namun apabila kusimpan ini sendiri,
terus-menerus, apakah ada yang mengamini doaku? Aku hanya ingin bisa mendarat
di benua yang sungguh masih fana untukku. Aku ingin merasakan jauh dari
orang-orang tersayangku untuk beberapa waktu. Aku ingin belajar sebentar di
negeri orang. Sebentar saja. Ini semua terlalu mimpi. Namun aku percaya, kita
semua berada disini ya karena mimpi :)
21:28 pemimpi yang
entah sampai kapan ingin berhenti bermimpi
No comments:
Post a Comment